TOXOPLASMOSIS
I.
PENDAHULUAN
Toxoplasmosis
adalah penyakit zoonotic yang disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii termasuk golongan Protozoa dan
bersifat patogen. Parasit ini dapat ditemukan secara kosmopolit yang tersebar
di segala penjuru dunia baik di negara tropis, subtropis maupun negara beriklim
dingin.
Meskipun
bersifat patogen, Toxoplasma gondii tidak selalu menyebabkan keadaan patologis
pada hospesnya karena parasit ini memiliki kemampuan yang sangat besar untuk
beradaptasi dengan tubuh hospes. Penderita bahkan seringkali tidak menyadari
bahwa dirinya telah terinfeksi karena tidak mengalami tanda dan gejala penyakit
yang jelas.
Penderita
dengan imunitas yang tinggi jika terinfeksi Toxoplasma
gondii tidak akan mengalami keadaan patologis yang nyata, walaupun pada
beberapa kasus diketahui adanya pembesaran kelenjar limfe, lelah yang
berlebihan, miokarditis akut, dan miositis hingga radang otak.
Infeksi
Toxoplasma gondii akan memberikan
kelainan yang jelas pada penderita yang mengalami penurunan imunitas. Penurunan
imunitas ini dapat menyebabkan Toxoplasma
gondii dapat berkembang secara cepat tanpa dapat dikendalikan oleh
kekebalan tubuh hospes.
Toxoplasma gondii
dapat menyebabkan gangguan pada ibu hamil. Oleh karena itu, diperlukan
pengetahuan yang lebih mengenai Toxoplasmosis sehingga dapat mencegah dan
mewaspadai terhadap penyakit ini.
II.
DEFINISI
Beberapa definisi yang terkait
mengenai Toxoplasmosis, antara lain :
·
Toxoplasmosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi dengan parasit obligat intraselluler
Toxoplasma gondii.
·
Infeksi toxoplasma
akut merupakan infeksi yang didapat
sesudah bayi dilahirkan, biasanya asimptomatik.
·
Infeksi toxoplasma
kronik merupakan terjadinya persistensi kista dalam jaringan yang berisi
parasit pada individu yang secara klinis asiptomatik.
·
Toxoplasmosis akut
maupun kronik merupakan suatu keadaan saat parasit menjadi penyebab terjadinya
gejala dan tanda klinis ( antara lain : ensefalitis, miokarditis, pneumonia ).
·
Toxoplasmosis congenital
merupakan infeksi pada bayi baru lahir yang terjadi akibat penularan parasit
secara transplasental dari ibu yang terinfeksi terhadap janinnya. Bayi ini
biasanya asiptomatik pada saat dilahirkan tapi di kemudian hari akan timbul
manifestasi berupa gejala dan tanda dengan kisaran yang luas seperti :
korioretinitis, strabismus, epilepsi dan retardasi psikomotor.
Toxoplasmosis
adalah parasit obligat intaseluler, tinggal di dalam sel hospes pada vakuol
sitoplasma sel yang berinti. Dalam siklus hidupnya, Toxoplasma gondii mengalami
perkembangbiakan secara seksual di dalam usus hospes definitif yaitu golongan Felidae : kucing, harimau, dan aseksual
dalam tubuh hospes intermediet (mamalia dan burung).
III.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh
T.gondii yang merupakan parasit obligat intraselluler ( protozoa ) dari ordo
Coccidia yang dapat menimbulkan infeksi pada burung dan mamalia. Toxoplasma
gondii ada dalam 3 bentuk di alam :
1. Ookista
adalah bentuk yang resisten di alam
2. Trofozoid
adalah bentuk vegetatif dan proliferatif
3. Kista bentuk
yang resisten di dalam tubuh
Ada 2 aspek yang berbeda pada
siklus kehidupan T.gondii, yakni :
1. Bentuk proliferatif ( aseksual
) terjadi pada penjamu perantara seperti : burung, mamalia, manusia, disebut
juga siklus nonfeline.
2. Bentuk reproduktif ( seksual ),
terjadi pada usus kucing sebagai penjamu definitif, disebut juga siklus feline
( feline = kucing ).
Kucing dan hewan sejenisnya
merupakan hospes definitif dari T. gondii. Di dalam usus kecil kucing sporozoit
menembus sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit. Inti trofozoit membelah
menjadi banyak sehingga terbentuk skizon. Skizon matang pecah dan menghasilkan
banyak merozoit (skizogoni). Daur aseksual ini dilanjutkan dengan daur seksual.
Merozoit masuk ke dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan
mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah
terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama tinja
kucing. Di luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua
sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit (sporogoni) (Krahenbuhl
dan Remington, 1982). Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi,
sapi dan tikus serta ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara
akan terjadi daur aseksual yang menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah,
kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk
kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada
infeksi menahun (infeksi laten). Bila kucing sebagai hospes definitif makan
hospes perantara yang terinfeksi maka berbagai stadium seksual di dalam sel
epitel usus muda akan terbentuk lagi. Jika hospes perantara yang dimakan kucing
mengandung kista T. gondii, maka masa prepatennya 2 -3 hari. Tetapi bila
ookista tertelan langsung oleh kucing, maka masa prepatennya 20 -24 hari.
Dengan demikian kucing lebih mudah terinfeksi oleh kista dari pada oleh ookista
(Cox, 1982 ; Levine, 1990)
Gambar 1. Siklus hidup Toxoplasma
gondii
IV.
EPIDEMIOLOGI
Toxoplasma gondii dapat
menginfeksi sejumlah mamalia dan burung. Sero prevalensinya tergantung pada
kondisi setempat dan usia populasinya. Umumnya kondisi lingkungan yang panas
dan kering disertai dengan prevalensi infeksi yang rendah. Tanah merupakan
sumber infeksi untuk herbivora seperti kambing, domba, dan babi. Karena infeksi
pada kebanyakan hewan menetap secara menahun, maka daging yang mentah /
setengah matang menjadi sumber infeksi untuk manusia, karnivora dan kucing.
Infeksi
pada manusia didapat melalui :
1. Ookista yang
berasal dari tinja penjamu definitif ( kucing ) tertelan melalui mulut.
2.
Memakan daging setengah matang yang berasal dari binatang yang mengandung kista
infektif
3. Penularan
dari ibu hamil yang terinfeksi kepada bayinya
Penularan transplasental
:
T.gondii dapat ditularkan kepada janin
jika ibu mendapatkan infeksi primer sebelum kehamilan. ± ⅓ dari semua wanita
yang terinfeksi dalam masa kehamilannya akan menularkan parasit tersebut ke
janinnya. Dari berbagai faktor yang menentukan hasil akhir janin, usia
kehamilan pada saat infeksi merupakan faktor yang paling menentukan. Ada
beberapa data yang menyatakan peranan infeksi maternal yang baru saja
terinfeksi sebagai sumber penyakit congenital. Jadi wanita dengan seropositif
sebelum kehamilan biasanya justru terlindung terhadap infeksi yang akut dan
tidak akan melahirkan janin yang terinfeksi secara congenital. Pedoman secara
umum ini dapat diikuti untuk infeksi congenital. Pada dasarnya resiko tidak
akan terjadi apabila ibu sudah terinfeksi 6 bulan / lebih sebelum terjadi pembuahan.
Jika infeksi terjadi dalam waktu < 6 bulan sebelum pembuahan, kemungkinan
terjadi infeksi transplasental akan meningkat bersamaan dengan berkurangnya
masa selang antara infeksi dan pembuahan. Sebagian besar perempuan yang
terinfeksi semasa hamil akan melahirkan bayi yang normal dan tidak terinfeksi.
Sekitar ⅓ akan menularkan infeksi tersebut pada bayinya. Jika infeksi terjadi
pada trimester I kehamilan,insidensi infeksi transplasenta menduduki tempat
paling rendah ( ± 15%) tetapi penyakit yang terjadi pada neonatus paling berat.
Jika infeksi terjadi pada trimester III, insidensi infeksi treansplasental
paling tinggi (65%), tetapi bayi biasanya asimptomatik pada saat dilahirkan. Namun
bukti paling akhir yang diperoleh menunjukkan bahwa bayi yang terinfeksi dan
tampak normal mungkin mempunyai insidensi ketidakmampuan belajar serta defek
neurologist kronis yang lebih tinggi pada anak yang tidak terinfeksi. Hanya sejumlah
kecil wanita ( 20% ) yang terinfeksi T.gondii menunjukkan tanda klinis infeksi.
Diagnosa infeksi sering diketahui secara tidak sengaja ketika tes serologis
pasca konsepsi yang rutin memperlihatkan bukti adanya antibodi spesifik.
V.
TANDA
DAN GEJALA
Manusia dapat terinfeksi oleh T.
gondii dengan berbagai cara yaitu makan daging mentah atau kurang rnasak yang
mengandung kista T. gondii, ternakan atau tertelan bentuk ookista dari tinja
kucing, rnisalnya bersarna buah-buahan dan sayursayuran yang terkontaminasi.
Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari donor penderita
toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi T. gondii.
Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat
laboratoriurn lain yang terkontaminasi oleh T. gondii. Infeksi kongenital.
Terjadi intra uterin melalui plasenta (WHO, 1979 ; Levine, 1990).
Setelah terjadi infeksi T. gondii
ke dalam tubuh akan terjadi proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu
parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak
diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi
pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai afinitas
paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah terjadinya
infeksi. Tahap ketiga rnerupakan rase kronik, terbentuk kista-kista yang
menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan
peradangan lokal.
Pada garis besarnya sesuai dengan
cara penularan dan gejala klinisnya, toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas:
toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik
toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian besar asimtomatis atau tanpa
gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten.
Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit
lain.
Toksoplasmosis dapatan biasanya
tidak diketahui karena jarang menimbulkan
gejala. Tetapi bila seorang ibu yang
sedang hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan
anak dengan toksoplasmosis kongenital.
Gejala yang dijumpai pada orang dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada
toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan
sakit kepala (Zaman dan Keong, 1988).
Pada infeksi akut, limfadenopati
sering dijumpai pada kelenjer getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala
tersebut di atas dapat disertai demam, mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada
kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip kelainan kulit
pada demam titus, sedangkan pada jaringan paru dapat terjadi pneumonia
interstisial.
Gambaran klinis toksoplasmosis
kongenital dapat bermacam-macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan
gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada
gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang terdiri dari
hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrade sabin
yang disertai kelainan psikomotorik (Zaman dan Keong, 1988).
Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya
karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada
sistem syaraf penderita.
Gejala susunan syaraf pusat sering
meninggalkan gejala sisa, misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang
hanya ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak,
remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa
biasanya akibat infeksi kongenital.
Akibat kerusakan pada berbagai
organ, maka kelainan yang sering terjadi bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada
bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama,
dapat berupa kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir
mati, atau bayi dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis,
hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir
prematur, gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan
lesi mata.
Infeksi T. gondii pada individu
dengan imunodefisiensi menyebabkan manifestasi penyakit dari tingkat ringan,
sedang sampai berat, tergantung kepada derajat imunodefisiensinya (Cornain
dkk., 1990).
Menurut Gandahusada (1991), pada penderita imunodefisiensi, infeksi T.
gondii menjadi nyata, misalnya pada penderita karsinoma, leukemia atau penyakit
lain yang diberi pengobatan kortikosteroid dosis tinggi atau radiasi. Gejala
yang timbul biasanya demam tinggi, disertai gejala susunan syaraf pusat karena
adanya ensefalitis difus. Gejala klinis yang berat ini mungkin disebabkan oleh
eksaserbasi akut dari infeksi yang terjadi sebelumnya atau akibat infeksi baru
yang menunjukkan gejala klinis yang dramatis karena adanya imuno-defisiensi.
Pada penderita AIDS, infeksi T.
gondii sering menyebabkan ensefalitis dan kematian. Sebagian besar penderita
AIDS dengan ensefalitis akibat T. gondii tidak menunjukkan pembentukan antibodi
dalam serum (Cornain dkk., 1990).
VI.
DIAGNOSA
Diagnosa serologis toxoplasmosis
akut pada neonatus dibuat berdasarkan titer IgM yang positif ( sesudah minggu
pertama untuk menyingkirkan kemungkinan kebocoran lewat plasenta ). Penurunan
titer IgG harus diulang setiap 6 – 12 minggu / kali. Peningkatan titer IgM yang
berlangsung melebihi minggu pertama merupakan indikasi adanya infeksi akut (
waktu paruh IgM maternal 3 – 5 hari ).
VII.
TERAPI
Pasien yang hanya memperlihatkan
gejalalimfadenopati tidak perlu terapi spesifik kecuali jika terdapat gejala
yang persisten dan berat. Pasien dengan okuler toxoplasmosis harus diobati
selama 1 bulan dengan sulfadiazin dan pirimetamin. Preparat alternatif adalah
kombinasi klindamisin dan pirimetamin.
Susunan pengobatan paling mutakhir
mencakup pemberian pirimetamin dengan dosis awal 50 – 75 mg / hari, ditambah sulfadiazin
4 – 6 g / hari dalam dosis terbagi 4. Selain itu diberikan pula kalsium folinat
10 -15 mg / hari selama 6 minggu. Semua preparat ini hanya bekerja aktif
terhadap stadium takizoit pada toxoplasmosis. Jadi setelah menyelesaikan
pengobatan awal penderita harus mendapat tertapi supresif seumur hidup dengan
pirimetamin ( 25 -50 mg ) dan sulfadiazin ( 2 – 4 g ). Jika pemberian sulfadiazin
tidak dapat ditolerir dapat diberikan kombinasi pirimetamin ( 75 mg / hari )
ditambah klindamisin ( 400 mg ) 3x / hari. Pemberian pirimetamin saja ( 50 -75
mg / hari ) mungkin sudah cukup untuk terapi supresif yang lama. Neonatus yang
terinfeksi secara congenital dapat diobati dengan pemberian pirimetamin oral (
0,5 – 1 mg / kg BB ) dan sulfadiazine ( 100 mg / kg BB ).Di samping itu terapi
dengan golongan spiramisin ( 100 mg / kg BB ) ditambah prednisone ( 1 mg / kg
BB ) juga memberikan respon yang baik untuk infeksi congenital.
VIII.
PENCEGAHAN
Infeksi primer toxoplasma dapat
dikurangi dengan menghindari bahan yang terkontaminasi ookista dan memakan
daging yang kurang matang. Daging harus dimasak hingga suhu 60ÂșC dan dibekukan
untuk mematikan kista. Tangan harus dicuci sampai bersih setelah bekerja di
kebun, sayur dan buah harus dicuci dahulu.
Darah yang digunakan untuk
tranfusi pada penderira dengan keadaan umum lemah dengan hasil serologis
kehamilan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining untuk antubodi
terhadap T.gondii. Meskipun pemeriksaan skrining serologis tidak dilakukan
rutin, namun wanita dengan seronegatif harus mengalami pemeriksaan skrining
beberapa kali selama kehamilannya untuk menemukan bukti adanya infeksi jika
mereka terpajan dengan situasi lingkungan yang memberikan resiko terkena
infeksi T.gondii
DAFTAR
PUSTAKA
Cox, F.E.G., 1982. : Immunology.
In: Modern Parasitology. A Text Book of Parasitology. Blackwell
Scientific, Publications, London. (p.173).
Cornain, S ; Suryana E.J ;
Sugiharto. ; Jacoeb T.Z ; Rahman, I.A; Lubis, N.S dan Gusniarti, N., 1990. :
Aspek Imunologi dan Pendekatan Imunoterapi pada Infeksi Toxoplasma. Kumpulan
Makalah Simposium Toxoplasmosis. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Gandahusada. S. 1991. Study on
the prevalence of Toxoplasmosis in Indonesia: A review. Proceedings of the
33rd. Seameo Tropmed Regional Seminar Supplement to The Southeast Asian J.
Trop. Med. Pub. Hlth. Vol. 22.
Levine. N.D. 1990. Buku
Pelajaran Parasitoloqi veteriner. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
W.H.O. 1979. Parasitic
Zoonosis. Report of A WHO Expert Committee With The Participation of FAO.
WHO Technical Report Series 637: 35.
Zaman.
V and Keong. 1988. Buku Penuntun Parasitologi Kedokteran. Bina cipta,
Bandung.